Pernahkah kita berpikir, apakah hukuman selama ini sudah berjalan sesuai arah peraturan yang diinginkan daripada hukuman yang ada atas balas dendam atau tanpa melalui tahap rasionalisme?
Buktinya, dalam undang-undang bahkan peraturan di negara atau tempat manapun dapat dipastikan bahwa hampir keseluruhan isinya bertujuan untuk mengatur masyarakat atau orang yang ada di dalamnya, dan hukuman hadir sebagai layaknya karet pembatas yang lentur jika orang tersebut mencoba keluar dari jalan berbatas karet itu, entah karena disengaja atau tanpa niatan sengaja maka orang tersebut dengan karet itu akan dikembalikan lagi ke jalan atau arah tujuan aturan itu dibentuk. Sering atau bahkan hampir setiap hukuman yang diberikan tidak sesuai prosedur bahkan yang memakai prosedur pun bisa jauh dari fungsi apa yang seharusnya hadir bersama hukuman tersebut.
Tidak perlu jauh-jauh apakah di instansi tempat kalian belajar sudahkah menerapkan hukuman rasionalis, hukuman yang diputuskan atas alasan dan kebutuhan si pelanggar bukan melainkan kebutuhan si penegak hukum? Padahal di sisi lain, dalam lingkungan religius siapa yang tidak mengetahui bahwa agama mengajari tentang kemanusiaan dan keadilan diatas semua-muanya, bukan ego yang di atas semau-maunya.
Namun, fakta di lapangan menunjukkan bahwa hukum jauh lebih dekat dengan konotasi negatifnya, yaitu hukuman, hukuman yang tak rasionalis. Padahal yang namanya hukuman pada dasarnya dibuat untuk mengobati pasien atau si pelanggar hukum/aturan agar sadar dan kembali ke jalan tadi. Bukan dibuat dan menjadi racun yang bisa membunuh karakter, mental, ataupun fisik si pasien. Apakah memang akal dan hati tidak sejalan dengan apa yang pasien butuhkan dalam memutuskan sebuah hukum-an?
Mengapa hukuman diputuskan oleh orang-orang yang tak berwenang? Berwenang yang dimaksud dalam syarat agama, bukan hanya bermodal ‘jabatan’ yang siapapun bisa bersikap tak adil dibuatnya. Mengapa tidak ada hukum yang mengatur si penegak hukum bermodal jabatan itu dalam setiap aktivitas dan putusan kebijakannya? Atau jangan-jangan karena manusia terlalu percaya atas palu jabatannya itu atau mungkin ada dinding penghalang yang takut untuk dirobohkan demi menegakkan keadilan dan kemanusiaan? Ahh…
Tidak jarang kita temui, orang-orang depresi karena hukuman dan berakhir bunuh diri, lantas dirinya yang disalahkan tanpa menghiraukan si penegak hukum yang secara tak langsung mendorongnya bukan ke jalan tadi melainkan jurang di luar batas karet itu. Contoh kecilnya, orang yang sulit hafalan dihukum dengan menambah hafalannya, bukan dicarikan metode yang tepat untuk hafalannya. Kemudian orang yang jatuh cinta dan memilih mengikuti jalan syariat malah disalahkan atas penilaian secara umum, bukan mendetail, lalu dihukum dan mencari kesalahan lainnya, entah apakah orang itu akan semakin baik atau malah keluar dari syariatnya.
Karena menurut saya, semua orang yang melanggar hukum, tidak semuanya buruk dan perlu dicap atau dijudge sebagai orang buruk, semua orang melakukan hal karena berbekal alasan yang mungkin tertutup bagi kita. Namun itulah tugas kita, sebelum jauh meloncati pintu berisi alasan tersebut, biar tidak dikatakan sebagai maling, alangkah lebih baiknya untuk membuka dulu pintu alasan itu, agar si penegak hukum tepat menempatkan akal dan hatinya kepada putusan hukum yang akan dibuat.
Disinilah kemudian akal dan hati berfungsi untuk menguak kebenaran, menyelami lautan dalam untuk mengais mutiara, jernih memutuskan sebuah hukum sesuai fungsi harfiahnya, yaitu sebagai obat bukan sebagai racun.
Bagaimana? Sudah benarkah hukuman yang dibuat selama ini?